|
Sinopsis Buku: Adigium yang sering digembar-gemborkan di tengah masyarakat kita adalah bahwa perbedaan itu indah sekaligus Rahmat Tuhan. Adigium ini memang benar adanya, selayaknya taman yang indah adalah taman yang ditumbuhi aneka jenis bunga dengan warna yang beragam. Namun, kenyataannya banyak orang yang tidak bisa menerima perbedaan itu, kecenderungan malah sebaliknyanya yakni menyamakan dengan dirinya, kelompoknya atau doktrin agama yang dianutnya.
Realita yang tengah terjadi negeri ini seperti kasus Sampang, Ahmadiyah, kerusahan di Kotawaringin, atau yang baru saja terjadi aksi perusakan di Kemendagri merupakan cuaca kultural yang menyesakkan dada. Masyarakat masih mengandalkan otot daripada otak untuk merumuskan masalah dan mencapai titik mufakat. Otot massa seolah senjata pamungkas yang dapat menyelesaikan masalah dan memuaskan kehendak. Bagaimana memahami cuaca kultural bangsa ini yang ditandai oleh berbagai gejala seperti fanatisme dan ekstremisme, yang persis merupakan penghalang kemungkinan membentuk masyarakat yang pluralis? Dalam bukunnya ini, Karlina Supelli menawarkan sebuah pendekatan epistemologis untuk memahami gejala tersebut . secara khusus, Karlina Supelli mengajukan argumen bahwa laku mengetahui dan memahami mengandaikan pengakuan akan ciri antropologis setiap bentuk pengetahuan. Dalam berbagai gejala di atas, apa yang rupanya terjadi adalah kecenderungan pemutlakan, yang mengarah pada dogmatisasi pengetahuan melalui penyingkiran ciri antropologis yang intrisik pada actus mengetahui itu sendiri. peluang bagi dialog antara sains, filsafat dan agama akan terbuka jika, dan hanya jika, ciri antropolgis pengetahuan tersebut dihargai. Di masa lalu kita bosan menyaksikan orang-orang yang menyingkirkan ciri antropologis-antropo-sosial pengetahuan supaya bisa mendaku kebenaran ilmu demi berhubungan dengan kekuasaan. Sekarang kita cemas menyaksikan bagaimana ciri antropologis-antropo-sosial itu disingkirkan demi orang bisa mendaku tahu tentang tuhan dan bahkan tahu apa yang tuhan mau. Kita sibuk omong kosong tentang pluralisme tetapi tribalisme politik sektarian, khususnya yang bertumpu di atas agama, justru semakin mengeras. Politik ini menolak argumen apapun kecuali yang mereka yakini berasal dari tuhan, dan mereka menolaknya dengan cara brutal. Bagaimana caranya mengatur jarak antara kita mengetahui dan memahami peristiwa-peristiwa wahyu; antar konsep tentang tuhan dan Dia yang tak terkenai konsep apa pun juga; antara gejala kehidupan yang terjangkau secara kongkret dan yang menarik ke dalam bayang-bayang senyap? Menurut Karlina Supelli, hal yang dapat dilakukan adalah membudayakan penalaran trans-disiplin. Penalaran trans-disiplin tidak mengandaikan penyatuan lewat konvergensi epistemologis, tetapi juga tidak mengandaikan bahwa satu bidang terisolasi dari bidang lainnya. Penalaran trans-disiplin lebih merupakan suata meta-metodologi untuk melampui keterbatasan suatu bidang pengetahuannya. Tujuanya bukan untuk melahirkan disiplin baru, unifikasi epistemologis atau sebuah kesepakatan, melainkan mencari koherensi narasi dalam keanekaragaman gejala pengalaman manusia. Penalaran transdisiplin menunjukkan bahwa dalam ketakmampuan manusia melampui ciri antropologis pengetahuan dan historisitas penafsiran, jerih payah menemukan kebenaran bukan semata-mata perkara membincangkan objektivitas. Upaya mencari kebenaran melibatkan dialog metodologis dan kerjasama berbagai bidang pengetahuan dalam bahasa yang dibagi bersama. Penalaran trans-disiplin bukan menantang dakuan-dakuan kebenaran salah satu bidang ilmu, tetapi terutama mau memperbaiki cara satu bidang memahami bidang lainnya tanpa jatuh pada relativisme epistemologis yang sepenuhnya meluruhkan kepercayaan atas kebenaran. Penalaran ini terbuka terhadap ketakpastian pengetahuan dan penafsiran karena keseluruhan dipertimbangkan bukan saja lebih besar daripada bagi-bagiannya, tetapi juga punya corak berbeda yang belum sepenuhnya diketahui. Karlina Supelli bukanlah penulis tunggal dalam buku ini, tetapi ada juga penulis-penulis lainnya yang ikut mendiskusikan sekitar permasalah antara agama, sains dan filsafat yang sebenarnya gejalanya itu tengah kita rasakan saat ini. Dengan demikian, keikutsertaan penulis-penulis lainnya menjadikan cermin dari buku ini sekaligus membuka kesempatan terbuka menggiatkan dialog bagi pembaca, karena tertantang untuk mengkomunikasikan berbagai argumen dari para penulis sehingga dapat diambil kesimpulan, sesuai dengan kecermatan dan kejernihan pembaca. Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |