|
Sinopsis Buku: Buku yang diberi judul Antropologisme Al-Qur'an mengetengahkan sejumlah temuan penulis tentang manusia di alam realitas empiriknya dengan mengacu pada informasi yang disampaikan oleh Sang Pencipta manusia dalam sejumlah ayat Al-Qur'an. Dalam hal tertentu, penulis mengkritik sejumlah teori dan pemikiran filsafat yang menganalisis manusia dalam nuansa idealnya dengan bertitik tolak dari kerangka universal. Para pemikir dan filosof dipandang lebih menekankan perhatian mereka tentang manusia di alam ide, bukan alam real. Secara ideal, harus diakui bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki sejumlah potensi luar biasa untuk memberdayakan diri. Dengan kemampuan yang dimilikinya itu, tidak jarang manusia dianggap sebagai makhluk penentu dan perekayasa masa depan. Akan tetapi, kondisi yang demikian itu tidak secara serta-merta ditemukan pada seluruh manusia. Sesuatu yang diyakini ada di alam ideal belum tentu berwujud dalam realita. Penulis sepertinya hendak mengalihkan pandangan masyarakat pemikir yang selama ini selalu menengadah ke langit untuk melongok ke bumi. Al-Qur'an menurut penulis tidak selalu mengarahkan pandangan manusia ke alam ideal. Sebagai sebuah kitab suci yang berfungsi sebagai petunjuk, Al-Qur'an tentu tidak mengabaikan kebutuhan manusia di alam realnya.
Buku ini mengajak pembaca mendiskusikan sejumlah persoalan kemanusiaan dengan mengacu kepada ayat-ayat Al-Qur'an. Penggunaan turats sebagai warisan khazanah berharga dilakukan secara selektif dan hati-hati guna menemukan relevansinya dengan paradigma dasar Al-Qur'an dan tuntutan kontemporer. Pembaca akan sependapat jika buku ini disebut sebagai karya tulis yang Qur'anic oriented; karena penulisnya berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mempertahankan konsistensi paradigmatik yang seiring dengan tuntutan teks kitab suci tersebut. Sejumlah pandangan dasar mengenai Al-Qur'an baik secara normatif maupun historis disajikan pada bagian awal untuk membangun paradigma yang khas. Beberapa praduga para outsider tentang Al-Qur'an yang dikemas sebagai analisis historis terlebih dahulu dibantah oleh penulis guna memandu pembaca agar tidak terjebak pada keragu-raguan terhadap orisinalitas dan otentisitas kitab suci tersebut. Pada bagian yang agak akhir, pembaca kembali diingatkan untuk memposisikan Al-Qur'an secara paripurna sebagai kitab suci dan petunjuk tanpa reserve. Dengan keyakinan penuh dan utuh seperti itu barulah hidayah Al-Qur'an akan dapat diperoleh. Resensi Buku:
oleh: umar abdul hasib Memahami Al-Qur’an dalam Bingkai Kemanusiaan Judul Buku : Antropologi Al-Qur’an Penulis : Prof. Dr. Daniel Djuned Penerbit : Penerbit Erlangga Cetakan : 2011 Tebal : XI + 256 Halaman Peresensi : Umar Abdul Hasib* Al Qur'an adalah cahaya kebenaran (Hidayah), pedoman hukum (syara'), sumber tata tertib bagi kehidupan, cara untuk mengetahui halal dan haram, sebagai inspirasi hikmah, kebenaran dan keadilan, serta penuntun moralitas yang terpuji (al-Akhlaq al-Karimah) untuk memperbaiki kehidupan dan perilaku manusia. Tidak henti-hentinya studi atau kajian terhadap Al-Qur’an dilakukan baik oleh umat Islam sendiri bahkan oleh para intelektual non muslim untuk mengungkapkan tekstualitas maupun kontekstualisasi darinya. Dalam perkembangannya, kajian-kajian tersebut berkembang sehingga tidak hanya berkutat pada produk kajian keilmuan yang telah ada sejak masa lampau akan tetapi dikaitkan dengan keilmuan kekinian yang disajikan secara sistematis dan menggunakan pendekatan dan metode yang akurat. Salah satu dari beberapa pendekatan modern dalam memahami Al Qur’an adalah pendekatan antropologi guna mencari setitik hidayah dari lautan al-Qur’an yang tidak bertepi. Antropologi sebagai ilmu yang mempelajari manusia dan segala perilaku manusia dirasa penting untuk dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam al-Qur’an, karena konsep manusia sebagai “khalifah” (wakil Tuhan) di bumi, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam. Posisi penting manusia dalam al-Qur’an (baca : Islam) mengisyaratkan bahwa persoalan utamanya adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Dengan demikian memahami al-Qur’an (baca : Islam) yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang terejawantahkan dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagaman adalah terletak pada interpretasi dan pengalaman agama. Mempelajari al-Qur’an dengan pendekatan budaya, dan pemahaman atas tingkah laku manusia, dirasa sulit karena memberikan kesan mengkerdilkan al-Qur’an yang hanya teruntuk bangsa Arab dan terbatas pada masa al-Qur’an di turunkan, namun disisi yang lain perdekatan budaya dan pemahaman atas tingkah laku manusia dirasa penting untuk mengekplore lebih jauh terhadap kandungan mutiara dalam al-Qur’an yang diturunkan sebagai kitab petunjuk yang shalih li kulli zaman wa makan. Dengan pendekatan antropologis diharapkan al-Qur’an tidak lagi merupakan bacaan tanpa makna tetapi merupakan petunjuk ideal bagi manusia dalam menyikapi realitas kehidupan empirik, karena selama ini al-Qur’an di fahami dengan pandangan yang “melangit” tanpa melihat realitas yang ada sehingga menghasilkan pemahaman yang kurang “membumi”, contoh kecil dalam hal ini adalah pandangan yang menyatakan bahwa semua orang harus mampu berijtihad atau paling tidak mengerti dalil-dalil yang di gunakan para mujtahid dalam merumuskan hukum sehingga mereka tidak perlu bertaqlid karena manusia dianugerahi dengan akal, pandangan ini memang sesuai dengan beberapa ayat al-Qur’an dan hadis, namun jika pemahaman tersebut di perkaya dengan pendekatan antropologis akan menampakan idealisme yang kaku dan terlalu “melangit” tanpa melihat realitas manusia itu sendiri yang tidak semuanya mempunyai kemampuan untuk berijtihad sendiri. Manusia memang diciptakan dengan kemampuan menalar dan berlogika, namun tidak semuanya manusia mampu menggunakan anugerah tersebut dengan maksimal, dalam al-Taubah : 122 dijelaskan tentang adanya realitas kalangan elit yang bertugas tafaqquh fi al-din yang disebut dengan istilah Thaifah. Dalam surah al-Isra’ : 36 juga dijelaskan bahwa dalam hal ilmu agama manusia terbagi menjadi dua, pertama kalangan elit (ulama) sebagai rujukan, pembimbing, pemberi peringatan atas prilaku keagamaan umat. Kedua kalangan kebanyakan yang wajib bertanya dan berguru kepada ulama. Dengan pendekatan antropolgis, kewajiban untuk bermadzhab merupakan sunnatullah. Selain itu, faktor peluang dan kesempatan juga tidak dapat di lupakan, dimungkinkan seorang yang mempunyai kecerdasan yang tinggi tetapi tidak mempunyai kesempatan mendalami ilmu agama karena menekuni ilmu lain, sehingga seorang ulama harus bertaqlid kepada dokter dalam hal obat-obatan, begitu juga sebaliknya. Melalui buku “Antropologi Al-Qur’an” Daniel Djuned mengajak kita memahami al-Qur’an khususnya ayat-ayat yang membahas tentang manusia dengan pendekatan antropologi agar menghasilkan pemahaman yang benar-benar “membumi” dalam realitas kehidupan manusia, selain itu penulis juga ingin mendiskusikan sejumlah permasalahan kemanusiaan dengan mengacu pada ayat-ayat al-Qur’an. * Mahasiswa PK-BSA Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya Add your review for this book! Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |