|
Sinopsis Buku: Membaca buku ini, terasa sekali nuansa penulisnya yang militer. Cukup banyak istilah militer tersebar di sana-sini, belum lagi tuturan pengalamannya yang khas tentara. Gaya bahasanya sebenarnya sudah dipoles, sehingga banyak menggunakan kutipan referensi ala tulisan akademisi. Tak heran, tulisan Kiki lumayan enak dibaca.
Tema-tema yang beraneka ragam dalam tulisannya yang memang ditulis terpisah-pisah sebagai opini di harian Kompas itu dikumpulkan dalam empat tema besar oleh editor. Dan dengan begitu, benang merahnya makin kental. Secara garis besar, buku ini memuat pandangan penulisnya mengenai masalah-masalah kenegaraan, terutama yang terkait dengan pertahanan-keamanan. Sebagai tentara, yang bersangkutan berprinsip seperti diutarakan Jenderal Douglas Mc.Arthur: �the old soldiers never die, they just fade away� (p. 8,15). Tak heran, tulisan-tulisannya masih bersemangat bak mendengarkan perintah langsung darinya saat masih aktif. Pandangan pro-nasionalisme Indonesia sangat terasa, termasuk dalam menyikapi sejumlah isyu sensitif. Sebutlah misalnya masalah MoU (Memorandum of Understanding) antara pemerintah Republik Indonesia dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Kiki menyatakan, �MOU tersebut secara inheren mengandung substansi yang kontradiktif dan komplikatif dikaitkan dengan format kenegaraan serta fundamen kebangsaan kita.� (p.168). Bahkan dalam tulisannya soal wacana DCA (Defensive Cooperative Agreement) antara RI-Singapura yang sempat hangat tahun lalu, Kiki tegas mengatakan bahwa DCA adalah pelanggaran kedaulatan negara. Ia pun mengutip sms seorang sahabatnya: �We must learn how to negotiate with dignity. Yes, we are poor but this country is not for sale.� (p. 96) Sejujurnya, banyak pandangan Kiki yang sejalan dengan saya. Namun siapalah saya yang cuma rakyat biasa. Untunglah ada seorang purnawirawan perwira tinggi yang lebih didengar untuk menyuarakan uneg-uneg seorang yang merasa cinta negara seperti saya. Membaca buku ini, selain persoalan-persoalan pertahanan-keamanan, terasa sekali betapa besar masalah yang dihadapi bangsa. Ancaman disintegrasi terasa amat nyata. Apalagi di waktu lalu kita baru saja kehilangan Timor-Timur akibat kesalahan kita sendiri. Kurangnya koordinasi antar elemen pemerintahan termasuk dengan TNI membuat presiden saat itu yaitu Prof.Dr.Ing.B.J. Habibie terburu-buru mengambil keputusan. Akibatnya lepaslah provinsi termuda kita itu, yang telah diperjuangkan dengan harta, darah, dan air mata oleh putra-putri negeri ini. Kiki juga mengingatkan adanya pergeseran perang dari penggunaan senjata menjadi multi-dimensional. Seperti penggunaan �war by proxy� dan war of perception (p. 104) dan penggunaan soft-power seperti cultural warfare, economic and financial warfare, information warfare (p. 99). Penyusupan melalui berbagai korporat multinasional (MNC), LSM (NGO), media dan kekuatan industrial-bisnis menurutnya juga harus diwaspadai. Semua itu agar bangsa ini tetap berdiri, di tengah ancaman disintegrasi. Pendek kata, buku �serius� ini menarik bagi mereka yang senang menyelami wacana kenegaraan, kebangsaan, politik dan pertahanan-keamanan. Meski tentu saja, ada sejumlah pandangan penulis yang terasa amat keras untuk dibaca. Namun, semua itu tampaknya dikarenakan penulisnya mencintai negerinya: Indonesia. Resensi Buku:
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() oleh: endang gimana cara menyimpan halaman ini ![]() Buku Sejenis Lainnya:
![]() Advertisement |