Cari berdasarkan:



Jangan Main-main dengan Kelaminmu
 


Maaf, stock buku kosong atau out-of-print.


Jangan Main-main dengan Kelaminmu 
oleh: Djenar Maesa Ayu
> Fiksi » Cerita Pendek

Penerbit :    Gramedia Pustaka Utama
Edisi :    Soft Cover
ISBN :    9792206701
ISBN-13 :    9789792206708
Tgl Penerbitan :    2004-01-00
Bahasa :    Indonesia
 
Halaman :    200
Ukuran :    140x210x0 mm
Sinopsis Buku:
SHOCKING!!!Hanya satu kata ini yang tepat untuk mengomentari kumpulan cerpen terbaru karya Djenar Maesa Ayu. Karya-karyanya yang berani membuat penulis perempuan ini sering dimaki sekaligus dicintai. Cerpen-cerpennya telah tersebar di berbagai media massa Indonesia seperti Kompas, Republika, majalah Cosmopolitan, Lampung Post, majalah Djakarta!.Buku pertamanya yang berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet! telah dicetak ulang beberapa kali. Cerpennya "Waktu Nayla" menyabet predikat Cerpen Terbaik Kompas 2003. Sementara cerpen "Menyusu Ayah" menjadi Cerpen Terbaik 2003 versi majalah Jurnal Perempuan. Hampir semua tulisan Djenar menyingkap sisi kehidupan yang ditabukan oleh masyarakat kita. Pembaca yang baru mengenalnya akan terusik, bisa jadi merasa tertampar oleh cerpen-cerpen yang disajikannya dengan gaya pengucapan ekperimental dan inovatif.Djenar Maesa Ayu mungkin hanya sekadar menyodorkan cermin kepada pembacanya. Cermin yang jujur dan menampakkan apa yang terjadi di hadapannya. Cermin yang selama ini terlarang untuk ditatap, mungkin....




Resensi Buku:

  Djenar dan Paradoks Masyarakat Kita
oleh: Asep Sambodja
Belum genap setahun, buku kumpulan cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) karya Djenar Maesa Ayu sudah mengalami cetak ulang keempat sejak diterbitkan pertama kali pada Januari 2004. Ini termasuk sesuatu yang luar biasa dalam penerbitan buku di Indonesia karena bisa mengalahkan buku pelajaran dalam hal cetak ulang. Di sampul halaman depan buku ini tercantum sebuah catatan singkat, �untuk pembaca dewasa�. Catatan itu mengingatkan kita pada peringatan yang menempel pada bungkus rokok bahwa �merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin�. Peringatan yang terkesan �mulia� itu dilakukan dengan sadar oleh produsen rokok sekaligus tetap berharap rokoknya terus dibeli oleh masyarakat. Sebuah paradoks yang sangat menggelikan, namun terus bergulir di dalam masyarakat kita hingga sekarang. Fakta ini menunjukkan bahwa peraturan atau peringatan kesehatan tidak terlalu diperhatikan atau tidak ditaati di negeri ini. Demikian pula catatan kecil di sampul buku Djenar Maesa Ayu, �untuk pembaca dewasa�, bisa jadi merangsang pembaca yang belum dewasa untuk segera dewasa. Akibatnya, buku itu akan laku di pasar dan akan terus dicetak ulang karena sangat menguntungkan penerbit dan penulisnya. Apakah ini menandakan bahwa buku sastra untuk �pembaca dewasa� akan mendongkrak angka penjualan buku sastra? Setidaknya Gramedia telah membuktikan dan memeloporinya. Buku terbaru Djenar ini seperti buku pertamanya, Mereka Bilang, Saya Monyet! (di antaranya terdapat cerpen yang berjudul �Namanya,...�), yang isinya antara lain, �Memek tidak tahu, kenapa orangtuanya menamainya begitu.� (Ayu, 2004a: 90-101), diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama, sebuah penerbitan yang mengklaim dirinya sebagai penerbit buku-buku utama. Terbetik penilaian pembaca sesaat setelah membaca Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) terbitan Gramedia ini. Pertama, seperti inikah buku utama yang dimaksudkan oleh Gramedia? Kedua, buku sastra ini perlu diberi catatan �untuk pembaca dewasa�, dengan asumsi pembaca pemula tidak dianjurkan untuk membacanya! Kenapa pula karya sastra lainnya tidak diberi catatan seperti itu? Apakah itu berarti bahwa buku-buku sastra lainnya boleh dibaca oleh siapa saja, dan buku Djenar tidak? Apa gerangan yang membuat buku Djenar seperti iklan kondom? Di dalam buku ini pula Richard Oh, pemilik QB Worldbooks dan pemberi Khatulistiwa Literature Award (KLA), memberi pengantar yang sangat permisif dan menyebutkan cerpen �Menyusu Ayah� (yang diterjemahkannya menjadi �Suckling Father�) sebagai cerpen terbaik dalam kumpulan cerpen ini. Cerpen �Menyusu Ayah� dapat diinterpretasikan sebagai bentuk perlawanan seorang (anak) perempuan terhadap laki-laki (Ayah, teman-teman Ayah, dan teman laki-laki sebaya anak perempuan yang bernama Nayla). Sejauh perlawanan itu bertujuan menyejajarkan posisi antara laki-laki dan perempuan, maka hal itu sangat bisa diterima dan bahkan perlu didukung. Tapi, ketika perlawanan itu hanya mengubah posisi dari keadaan �tertindas� (inferior) menjadi �penindas� (superior), maka perlawanan itu hanyalah omong kosong. Tetap saja akan terjadi dominasi satu pihak atas pihak lain, apapun jenis kelaminnya. Karena, dalam cerpen itu sangat jelas �bentuk� perlawanan si pencerita (perempuan), bahwa �Saya tidak ingin dinikmati. Saya hanya ingin menikmati�, yang merupakan antitesis dari ucapan Ayahnya, �Bahwa payudara bukan untuk menyusui namun hanya untuk dinikmati lelaki.� Kalau kita lebih detail lagi masuk ke dalam cerpen �Menyusu Ayah�, maka akan terbaca seperti ini: �Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah.� (Ayu, 2004b: 35-43) Cerpen dalam buku Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama itu telah mengalami cetak ulang yang keempat, yang berarti pasar sangat merespons dengan baik kehadiran buku tersebut. Tinggallah kita bertanya-tanya, apa yang bisa dipelajari dari �cerpen terbaik� versi Richard Oh dan Jurnal Perempuan itu? Apakah itu merupakan sebuah bentuk perlawanan sebagaimana fungsi sastra sebagai media ekspresi? Atau apakah sebuah potret sosial semata sebagaimana fungsi sastra sebagai representasi? Yakni, sebuah potret masyarakat yang sakit, yang memperlihatkan potret seorang anak perempuan (Nayla), Ayah, teman-teman Ayah, yang semuanya sakit. Dan hanya ada beberapa teman laki-laki sebaya Nayla yang masih menunjukkan harapan untuk menjunjung tinggi moral�sesuatu yang sangat ditertawakan atau bahkan dikangkangi oleh tokoh-tokoh dalam cerpen Djenar Maesa Ayu. Semua tokohnya nyaris seperti itu, tak terkecuali dalam cerpen yang sengaja diberi judul �Moral�. Apakah karya semacam ini yang akan mewarnai sejarah sastra Indonesia di masa depan, sebagaimana yang pernah diprediksi oleh Sapardi Djoko Damono, bahwa masa depan sastra Indonesia berada di tangan perempuan? Kalau kita bandingkan cerpen �Menyusu ayah� Djenar Maesa Ayu dengan cerpen �Menggambar Ayah� A.S. Laksana, kita bisa merasakan akar kepahitan atau akar kesakitan yang sama. Nayla dalam cerpen Djenar demikian benci pada sosok ayah. Sementara tokoh Aku dalam cerpen Laksana demikian dalam rindunya pada sosok ayah, namun si aku tidak bisa menerima sosok ibu yang tidak menghendaki kelahirannya. Dari kedua cerpen tersebut terbaca bahwa penulis perempuan (dalam hal ini Djenar) mengekspresikan kepedihannya dengan kata-kata yang relatif vulgar, sementara penulis pria (dalam hal ini Laksana) mengekspresikan kesakitannya dengan bahasa yang relatif terkontrol dan terpelihara�dengan mempertimbangkan diksi yang anggun. Bandingkan kedua kutipan di bawah ini: Saya senang jika teman-teman ayah memangku dan mengelus-elus rambut saya, tidak seperti teman-teman sebaya yang harus saya rayu terlebih dahulu. Saya senang setiap kali bibir mereka membisiki telinga saya bahwa saya adalah anak gadis yang manis. Anak gadis yang baik. Tidak seperti teman-teman sebaya yang menjuluki saya gadis perkasa, gadis jahat, atau gadis sundal. Saya senang cara mereka mengarahkan kepala saya perlahan ke bawah dan membiarkan saya berlama-lama menyusu di sana. Saya senang mendengar desahan napas mereka dan menikmati genggaman yang mengencang pada rambut saya. Saya merasa dimanjakan karena mereka mau menunggu sampai saya puas menyusu. Saya menyuakai air susu mereka yang menderas ke dalam mulut saya. Karena saya sangat haus. Saya sangat rindu menyusu Ayah. (Ayu, 2004b: 39-40) Ibu tidak pernah memperkenalkan benda yang bisa dipanggil bapak kepadaku. Seandainya suatu hari ia membawa seorang laki-laki dan bilang bahwa lelaki itu adalah bapakku, aku akan sangat berbahagia. Mungkin ia seorang lelaki yang suka membunuh perempuan dan mengisap air liurnya agar memperoleh ilmu kesaktian, atau mungkin ia orang yang suka menampar orang lain ketika mabuk. Tak apalah. Yang penting ada orang yang bisa kupanggil bapak. Aku sudah mempersiapkan diri untuk memanggil bapak kepada siapa pun yang dibawa oleh Ibu. Tapi orang yang bisa kupanggil bapak itu tak pernah datang. Agaknya Ibu tidak pernah berpikir untuk memberiku seorang bapak. Maka aku membikin sendiri bapakku. Di kamarku, aku menggambar sebatang penis. Panjang seperti ular. Ia melingkar membelit dinding-dinding kamarku. Setiap hari menjelang tidur aku bercakap-cakap dan mengadu kepadanya. Kulihat kepalanya berdenyut-denyut. Ia hidup. Ia bicara. Ia menanggapi semua keluhanku. (Laksana, 2004: 14-15) Kebetulan buku Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) ini masuk dalam lima besar karya sastra �terbaik� yang berhak mendapatkan KLA 2004. Untungnya, dewan juri yang diketuai Manneke Budiman, pengajar sastra di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) sekaligus Wakil Ketua Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Pusat, masih memiliki akal sehat dengan memenangkan kumpulan cerpen Linda Christanty, Kuda Terbang Maria Pinto, yang sangat impresif itu, dan roman Negeri Senja Seno Gumira Ajidarma yang sangat metaforis. Penilaian dewan juri KLA 2004 ini sungguh membesarkan hati para pengajar sastra di sekolah-sekolah, bahwa karya sastra yang berhak mendapat penghargaan itu bukanlah karya sastra yang sekadar merangsang kelamin pembacanya, melainkan juga merangsang pemikiran dan nurani pembacanya. Tapi, kalaupun kata-kata Djenar dalam bukunya sejenis dengan yang saya kutip di atas dianalogikan sebagai racun nikotin dalam sebatang rokok, tidak serta-merta kita menganjurkannya untuk dilarang. Bagaimanapun buku yang beraroma seks dan rokok bernikotin memiliki hak untuk hidup atau ada. Karena, baik rokok maupun buku Djenar memiliki gerbong yang panjang menyangkut nasib banyak orang, apalagi negara ini sedang belajar berdemokrasi, yang meniscayakan perbedaan dan keberagaman. �Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat,� kata Chairil Anwar. Hanya saja, minimal pembaca tahu ketika disodorkan buku Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), mereka sudah paham bahwa ini adalah buku �untuk pembaca dewasa�, persis seperti film-film �untuk dewasa� yang menyatroni rumah kita lewat televisi. Persoalannya, apakah kita akan terus memelihara paradoks semacam ini atau menyatakannya cukup sampai di sini.


Add your review for this book!



Buku Lainnya oleh Djenar Maesa Ayu:
Rp 60.000     Rp 51.000
Selalu ada yang tak terkisahkan dalam sebuah perjalanan. Bahkan dalam sebuah kisah, selalu ada yang tak terceritakan.  [selengkapnya]
Cetak Ulang Cover Baru
Rp 40.000     Rp 34.000
Mereka Bilang, Saya Monyet! adalah buku pertama Djenar Maesa Ayu yang langsung merebut perhatian pembaca sejak pertama kali diterbitkan. Tema yang ...  [selengkapnya]
Rp 48.000     Rp 40.800
Jika biasanya banyak buku yang terbit dari twitter berisi kumpulan tweet semata, maka T(w)ITIT! karya Djenar Maesa Ayu ini lebih dari sekadar ...  [selengkapnya]


Lihat semua buku yang dikarang oleh Djenar Maesa Ayu  »


Tentang Pengarang:

Ibu dari Banyu Bening dan Btari Maharani ini lahir di Jakarta, 14 Januari 1973.Cerpen-cerpennya telah tersebar di berbagai media massa Indonesia seperti Kompas, the Jakarta Post, Republika, Koran Tempo, majalah Cosmopolitan, dan Lampung Post. Buku pertama Djenar yang berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet! telah cetak ulang 8 kali dan masuk dalam nominasi 10 besar buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003, selain juga akan diterbitkan dalam bahasa Inggris. Saat ini cerpen dengan judul yang sama sedang dalam proses pembuatan ke layar lebar. Cerpen Waktu Nayla menyabet predikat Cerpen Terbaik Kompas 2003, yang dibukukan bersama cerpen Asmoro dalam antologi cerpen pilihan Kompas itu. Sementara cerpen Menyusu Ayah menjadi Cerpen Terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan dan diterjemahkan oleh ... [selengkapnya]




Buku Sejenis Lainnya:
oleh Kinoysan
Rp 22.000
Rp 18.700
Galuh bener-bener nggak percaya waktu tau Rey punya gebetan lain. Yang bikin Galuh tambah kelimpungan, orang itu adalah sobatnya sendiri, Winda! ...  [selengkapnya]
oleh Isyana Artharini, dkk
Rp 35.000
Rp 29.750
Buku ini merangkum 10 naskah terbaik peserta sayembara menulis humor bertema "Kencan Pertama yang Memalukan" yang diselenggarakan oleh ...  [selengkapnya]
oleh Benny Arnas
Rp 43.000
Rp 36.550
Bakda kehancuran di daerah Danau Ranau, seperti diturunkan Tuhan, Samin menyusuri rimba Belalau di Lubuklinggau untuk bercinta dengan kecubung dan ...  [selengkapnya]
oleh Ryunosuke Akutagawa
Rp 39.500
Rp 33.575
Lukisan neraka menceritakan tentang Yoshihide, seorang pelukis besar yang sering mengabaikan nilai-nilai moral. Karya lukisannya selalu menjadi ...  [selengkapnya]


Lihat semua buku sejenis »




Advertisement